Bismillah.
Dalam keterangannya terhadap matan kitab Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama), Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah memberikan penjelasan yang sangat bermanfaat.
Beliau mengatakan :
والسؤال في القبر إنما هو ثمرة عمل، وليس بمقدور الإنسان أن يجتهد بالإجابة على هذه الأسئلة بالعلم دون العمل ، وليس الأمر مبناه على ما عليه الإنسان في الدنيا وإنما هو انتقال إلى الدار الآخرة ،
Pertanyaan di dalam kubur sesungguhnya merupakan buah dari amalan. Bukanlah sesuatu yang menjadi kemampuan manusia untuk bersungguh-sungguh memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kubur ini dengan bekal ilmu tanpa amalan. Bukanlah perkaranya dibangun di atas apa yang bisa dilakukan manusia ketika masih hidup di dunia. Akan tetapi hal itu merupakan sebuah fase perpindahan menuju kampung akhirat.
فالقبر هوأول منازل الآخرة وهو يلحق بالآخرة من جهة انقطاع العمل ، وأنْ الإنسان يُجازى بعمله ، ومن هنا يتبيّن أنَ هذه الأسئلة وإن ظهرت في سورة الإمتحان- يعني- وأنّ الإنسان يمتحن فبناءً على هذا الإمتحان يكون الجزاء الثواب، إلا أنّ في الحقيقة الثمرة للعمل فمن كان موفقاً للعمل بهذه المسائل يوفق للإجابة
Kubur merupakan tahapan pertama dari berbagai tahapan di alam akhirat. Ia menyatu dengan alam akhirat disebabkan pada saat itu sudah tidak ada lagi kesempatan untuk beramal. Dan bahwasanya seorang insan akan diberi balasan berdasarkan amalnya. Dari sini, menjadi jelas bahwasanya pertanyaan-pertanyaan ini meskipun sekilas tampak dalam bentuk ujian -dalam artian- seorang insan diberikan ujian kemudian berdasarkan hasil ujian ini ditetapkan balasan dan pahala. Padahal, sesungguhnya hal ini merupakan buah dari amalan. Barangsiapa yang mendapatkan taufik untuk mengamalkannya ketika hidup di dunia maka dia pun akan diberi taufik untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
ومن هنا لا يُشكِل أنّ القبر هو دار جزاء وانقطاع للعمل فكيف يكون هناك عمل؟! وإنما هذا لإظهار توفيق الله –عزوجل- لمن عمل بهذه الأصول فيظهر من كرامتهم أن الله يوفقهم للإجابة ولا يُوفِّق المفرِّط الذي فرّط في هذه الأصول.
Dari sini, bukanlah menjadi perkara yang ganjil/aneh ketika diketahui bahwa kubur merupakan bagian dari alam pembalasan dan terputus dari amalan lantas bagaimana mungkin masih ada amal pada saat itu?! Sesungguhnya kemampuan memberi jawaban ini diberikan dalam rangka menampakkan taufik dari Allah terhadap orang yang telah mengamalkan pokok-pokok ini -tiga landasan utama- sehingga tampaklah dari karamah/kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka; bahwa Allah berikan taufik kepada mereka untuk menjawab pertanyaan kubur itu. Dan tidak akan diberi taufik untuk menjawab bagi orang yang teledor/tidak meyakini dan mengamalkan pokok-pokok ini.
Demikian nukilan penjelasan beliau.
Ketiga landasan utama itu adalah ‘setiap hamba wajib mengenal Rabbnya, agamanya, dan nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Ketiga perkara ini adalah hal-hal yang akan ditanyakan kepada setiap orang di dalam kuburnya. Disebutkan dalam hadits riwayat at-Thayalisi dan yang lainnya, bahwa orang yang beriman apabila ditanya oleh malaikat, “Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?” dia pun menjawab, “Rabbku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.” Adapun orang kafir ketika ditanya oleh malaikat, “Siapa Rabbmu?” di menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanya, “Apa agamamu?” dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang kamu katakan tentang lelaki ini yang telah diutus kepada kalian?” maka dia tidak bisa menyebutkan namanya. Lalu dikatakan kepadanya, “Muhammad!” tetapi dia malah mengatakan, “Hah, hah. Aku tidak tahu…” (Hadits ini disahihkan al-Albani dan dinyatakan hasan oleh Muqbil al-Wadi’i, lihat al-Qabru ‘Adzabuhu wa Na’imuhu, hlm. 15-19)
Dalam hadits lain dikisahkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang beriman telah didudukkan di dalam kuburnya dia pun didatangi oleh malaikat. Kemudian dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, itulah maksud dari firman Allah (yang artinya), “Allah akan teguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang kokoh..” (Ibrahim : 27).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang bisa menjawab pertanyaan kubur adalah orang beriman ahli tauhid, sedangkan orang kafir dan munafik tidak akan bisa menjawab dan akan diazab dengan azab yang sangat keras. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun orang munafik dan orang kafir dikatakan kepadanya ‘Bagaimana pendapatmu tentang lelaki ini -Muhammad-?’ di menjawab ‘Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan apa-apa yang dikatakan oleh orang’ lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak mau tahu dan tidak mau mengikuti -kebenaran- kemudian dia dipukul dengan palu dari besi sekali pukulan lantas dia pun menjerit -kesakitan- yang jeritannya itu bisa didengar siapa yang dekat dengannya selain jin dan manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa sesungguhnya target pelajaran tauhid dan aqidah bukanlah untuk bisa mendapatkan nilai ujian yang bagus atau mampu mengerjakan soal ketika evaluasi dan ujian akhir dalam kegiatan belajar mengajar. Tujuan utama pelajaran tauhid dan aqidah adalah untuk menanamkan pokok-pokok keimanan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu ilmu tauhid bukan berhenti pada hafalan atau pemahaman. Lebih daripada itu ilmu tauhid yang akan menyelamatkan hamba adalah yang diyakini dan diamalkan.
Pemahaman terhadap tauhid merupakan gerbang untuk bisa mengamalkan. Tanpa melalui gerbang ini seorang tidak akan bisa mengamalkan tauhid dengan benar. Menghafal dalil atau matan-matan tauhid adalah sarana untuk menimba ilmu dan menjaganya, tetapi bukanlah hafalan itu yang menjadi standar hakikat keilmuan yang dimaksud. Dengan menghafal akan membuat dalil-dalil itu terus tertanam dan tertancap dalam hati seorang hamba. Akan tetapi tidak boleh berhenti di situ saja. Sebab seorang muslim juga tertuntut untuk mengaplikasikan tauhid dalam ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Hal ini bisa kita pahami dengan memadukan perkataan para ulama terdahulu.
Misalnya, perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” Begitu juga perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu tetap dalam keadaan bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya jadilah dia orang yang benar-benar ‘alim/ahli ilmu sejati.”
Begitu pula perkataan Hasan al-Bashri rahimahullah, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Demikian pula perkataan Muhammad bin Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Oleh sebab itu perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga menjelaskan bahwa hakikat ilmu yang bermanfaat itu memiliki 2 ciri; yaitu bisa menghilangkan penyakit syubhat/penyimpangan pemahaman dan melenyapkan penyakit syahwat/keinginan pada hal-hal yang diharamkan.
Diriwayatkan dari Sufyan ast-Tsauri rahimahullah, beliau mengatakan, “Tidaklah sampai kepadaku sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku akan mengamalkannya meskipun hanya sekali.” Yang dimaksud di sini adalah hadits tentang keutamaan amal-amal sunnah, adapun amal-amal wajib maka hal itu butuh terus-menerus dan kontinyu (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr dalam Syarh Manzhumah Mimiyah, hlm. 110)
Oleh sebab itu mengamalkan ilmu merupakan salah satu adab yang wajib diperhatikan oleh setiap penimba ilmu. Amal merupakan buah dari ilmu, dan amal itulah hasil dari ilmu. Orang yang mengemban ilmu seperti orang yang membawa senjata; bisa jadi senjata itu membelanya atau sebaliknya justru mencelakakan dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “al-Qur’an menjadi hujjah/argumen untuk membelamu atau menjatuhkanmu.” (HR. Muslim). Ia menjadi pembela apabila diamalkan. Dan ia berubah menjadi musuh yang menjatuhkan apabila tidak diamalkan (lihat Kitabul ‘Ilmi karya Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah, hlm. 32)
Ilmu tauhid menuntut seorang muslim untuk mempersembahkan ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Inilah perintah paling agung dan kewajiban terbesar di dalam Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang membahas dan menjelaskan tentang tauhid dari berbagai sisi. Ada ayat-ayat yang menjelaskan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah maka ini mengandung kewajiban untuk mentauhidkan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ada ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah dan mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Ada ayat-ayat yang membahas perintah dan larangan yang itu merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Ada pula ayat-ayat yang menjelaskan keutamaan orang yang bertauhid dan pahala yang Allah berikan untuk mereka. Ada pula ayat-ayat yang membahas seputar keburukan pelaku syirik dan hukuman yang Allah timpakan kepada mereka di dunia maupun di akhirat. Maka itu merupakan balasan bagi orang yang melenceng dari ajaran tauhid. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah berkomentar bahwa “al-Qur’an itu seluruhnya membicarakan seputar tauhid.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hlm. 16)
Setelah membawakan keterangan ini, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bersama perhatian al-Qur’an terhadap perkara aqidah Islam yang sedemikian besar maka sesungguhnya kebanyakan orang yang membacanya tidak memahami aqidah dengan pemahaman yang benar. Sehingga mereka suka mencampuradukkan pemahaman dan keliru dalam perkara aqidah. Disebabkan mereka hanya mengikuti apa-apa yang mereka dapati dari nenek-moyangnya dan tidak membaca al-Qur’an dengan perenungan…” (lihat al-Irsyad, hlm. 16-17)
Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa semangat untuk belajar Islam itu tidak cukup apabila tidak disertai dengan semangat untuk memahami aqidah dan mengamalkannya. Karena ilmu dalam Islam butuh diamalkan. Dan amalan terbesar adalah mentauhidkan Allah. Perhatian terhadap ilmu al-Qur’an adalah perkara yang sangat terpuji, tetapi ia akan menjadi sia-sia jika tidak disertai dengan perhatian terhadap masalah tauhid; yang itu menjadi intisari ajaran al-Qur’an.
Begitu pula perhatian terhadap bahasa arab dan ilmu alat yang lainnya menjadi tidak ada artinya apabila tidak disertai dengan perhatian terhadap ilmu tauhid dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Memprioritaskan tauhid bukan slogan kosong tanpa makna. Karena tauhid harus diutamakan baik dalam belajar, beramal, maupun mendakwahkannya. Inilah manhaj/cara beragama yang kini banyak dilupakan atau dilalaikan oleh para pemuda… Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan mereka. Wallahul musta’aan.
Yogyakarta, 11 Muharram 1441 H